Indonesia kaya akan sumberdaya baik flora maupun fauna. Jumlah kekayaan dan keragaman sumberdayanya tak terkira. Beragam organisme (tanaman dan hewan) tersebar diberbagai pulau Indonesia. Secara kasat mata, beberapa ada yang memiliki kesamaan dari karakteristik bentuk dan warna, namun ada pula yang hanya terdapat sedikit perbedaannya. Penamaan organisme di berbagai daerahpun juga berbeda-beda (nama lokal). Hal inilah membuat para pakar biologi menggunakan nama latin yang mengikuti aturan tata nama binomial yang telah dicetuskan oleh Carolus Linneaus. Penamaan tersebut lebih memudahkan semua pihak untuk mengenali dan menyebut suatu organisme dengan satu nama.
Bicara mengenai tata nama binomial, tidak jauh dengan istilah taksonomi. Taksonomi merupakan cabang ilmu biologi yang mempelajari klasifikasi dan sistematika makhluk hidup. Ilmu ini mencakup beberapa hal yaitu penamaan, pengelompokkan dan perincian dari makhluk hidup berdasarkan persamaan dan juga perbedaannya. Adapun taksonomi dan pertanian tidak dapat dipisahkan. Taksonomi menjadi ilmu dasar yang digunakan untuk mengenali suatu jenis hama yang pada akhirnya dapat ditentukan suatu cara pengendalian yang tepat sesuai dengan karakteristik dari hama tersebut. Ilmu ini juga sangat penting terutama untuk mendeteksi jenis tanaman-tanaman unggul seperti tanaman pangan (padi, jagung, dan kedelai) yang lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit sehingga dapat mencapai ketahanan pangan.
Secara umum taksonomi diperlukan untuk mengetahui kekayaan alam terutama keanekaragaman hayati. Indonesia yang terkenal dengan mega biodiversitasnya, sampai sekarangpun masih banyak organisme yang terdapat baik di daratan maupun di lautan belum teridentifikasi. Hal inilah yang menjadi tugas dari seorang ahli taksonomi untuk melakukan inventarisasi, karakterisasi, memberi penjelasan dan menyusun suatu kunci identifikasi dari organisme-organisme tersebut.
Baru-baru ini para ahli taksonomi dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Zoologische Staatssammlung Munchen, Jerman telah menemukan empat spesies baru kumbang Chafer dari genus Epholchis di Kepulauan Maluku (Bayu 2020). Hal tersebut menunjukkan bahwa masih banyak spesies serangga di wilayah Indonesia yang belum ditemukan.
Permasalahannya yaitu kurangnya sumber daya manusia yang ahli di bidang taksonomi. Menurut penuturan Kepala LIPI, jumlah ahli taksonomi dan pengajar taksonomi masih sangat sedikit dimana hanya terdapat 174 orang dari 9000 peneliti yang ada di Indonesia. Padahal idealnya minimal jumlah peneliti disuatu negara yaitu 1000 peneliti per 1 juta penduduk (Zulkarnaen 2016). Hal ini diperparah dengan adanya ahli taksonomi yang lanjut usia dan memasuki masa pensiun. Minimnya ahli taksonomi tersebut tidak sebanding dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia. Dampaknya bukan hanya pada kurangnya inventarisasi dan penamaan saja, melainkan juga sulitnya melakukan upaya konservasi dan perlindungan organisme endemik atau yang khas di Indonesia.
Permasalahan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama karena kurangnya minat untuk berkecimpung di dunia taksonomi. Mungkin beberapa orang menganggap bahwa taksonomi hanya permasalahan pemberian nama pada suatu organisme. Padahal apabila ilmu ini dipelajari lebih dalam maka hal-hal baru yang akan diperoleh lebih kompleks. Misalnya saja seperti bagaimana cara membuat deskripsi dari suatu spesies baru yang ditemukan. Isi deskripsi tersebut tidak hanya menjelaskan deskripsi karakteristik dari organisme yang ditemukan, melainkan juga ada beberapa macam yang harus dimasukkan seperti nama spesies, etimologi (asal pemberian nama), tipe dan bahan yang diperiksa (holotipe, paratipe, sintipe dan lain-lain), diagnosis, bagian diskusi jika diperlukan, bagian ekologi, distribusi dan tempat pertama kali ditemukan.
Hal lain yang menyebabkan minimnya ahli taksonomi adalah kurangnya kemampuan terapan dalam bidang taksonomi. Permasalahan tersebut dapat disebabkan kurangnya pelatihan dalam hal identifikasi suatu organisme. Kesalahan satu hal saja dalam proses identifikasi mengakibatkan sesuatu yang fatal. Selain itu, permasalahan ini dapat disebabkan kurangnya regenerasi yang ada di instansi lembaga penelitian ataupun staf pengajar di perguruan tinggi.
Upaya untuk mengatasi permasalahan ini dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan-pelatihan mengenai taksonomi antara mahasiswa di perguruan tinggi sebagai calon generasi penerus dengan ahli taksonomi. Selain itu juga perlu dilakukan rekruitmen ahli taksonomi lebih banyak lagi di lembaga penelitian seperti LIPI ataupun staf pengajar di perguruan tinggi. Pemerintah juga diharapkan ikut serta mendukung upaya-upaya ini dengan menambah jumlah ahli taksonomi melalui kebijakan nasional sehingga permasalahan ini dapat teratasi.
Sumber:
Komentar
Posting Komentar